PRINSIP-PRINSIP
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK DAN BEKAL
AJAR AWAL PESERTA DIDIK.
BACA : 100 SOAL PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPG KOMPETENSI PEDAGOGIK
BACA : 100 SOAL PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPG KOMPETENSI PEDAGOGIK
I.
PERKEMBANGAN
KOGNITIF PESERTA DIDIK
A. PengertianKISI-KISI PPG KLIK DI SINI
Kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya. (Desmita, 2009)
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Guru harus
mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik. Yang sangat
sentral dalam factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah gaya
pengasuhan dan lingkungan. Biasanya gaya pengasuhan lebih diterapkan pada
anak-anak. Pada pengasuhan ini merupakan cika lbakal perkembangan kognitif
tersebut, karena ketika anak diasuh secara tidak sesuai dengan semestinya, ini
akan berakibat pada perkembangan kognitif anak, bahkan pada perkembangan mental
anak tersebut. Lingkungan pun sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif,
semakin buruk lingkungan maupun pergaulan seseorang maka kemungkinan pengaruh
lingkungan pada perkembangan kognitif anak semakin besar. (Wibowo, 2016)
C. Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Peserta
Didik
Empat tahap
perkembangan kognitif siswa menurut Piaget adalah sebagai berikut.
1. tahap sensori motor (0–2 tahun)
Pada tahap
sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan
mengatur kegiatan fIsik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna.
Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh
dan alat-alat indera mereka.
2. tahap pra-operasional (2–7 tahun)
Pada tahap
pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal
khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu
untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten
3. tahap operasional konkret (7–11 tahun)
Pada tahap
Operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan di
sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu
situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan
dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersamasama (misalnya, antara bentuk
dan ukuran).
4. tahap operasional formal (lebih dari 11
tahun)
Pada tahap
operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak
mesti menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam
perkembangan kognitif. (Doyin, 2015)
II. PERKEMBANGAN FISIK PESERTA DIDIK
Kuhlen dan
Thompson mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek,
yaitu:
(a) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan
kekuatan dan kemampuan motorik;
(b) Sistem
syaraf yang sangat memengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi;
(c) Kelenjar
Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada
usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang
sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis;
(d) Struktur
fisik/tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Seifert dan
Hoffnung (1994) berpendapat perkembangan fisik meliputi perubahan-perubahan
dalam tubuh (seperti : pertumbuhan otak, sistem saraf, organ-organ indrawi,
pertambahan tinggi dan berat, hormon, dan lain-lain), dan perubahan-perubahan
dalam cara individu dalam menggunakan tubuhnya (seperti perkembangan
keterampilan motorik dan perkembangan seksual), serta perubahan dalam kemampuan
fisik (seperti penurunan fungsi jantung, penglihatan, dan sebagainya).
III.
PERKEMBANGAN
SOSIAL-EMOSIONAL PESERTA DIDIK
Selain
perkembangan karakteristik fisik dan kognitif peserta didik, yang tidak kalah
penting adalah perkembangan sosial-emosional peserta didik. Sosio-emosional
berasal dari kata sosial dan emosi. Perkembangan sosial adalah pencapaian
kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Dapat juga diartikan sebagai
proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi dan
moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah
laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi dibedakan
menjadi dua, yakni emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif seperti
perasaan senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu yang tinggi akan
mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas
belajar. Emosi negatif sperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah,
individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar, sehingga
kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Selain itu,
dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin ‘movere’ yang
berarti ‘menggerakkan, bergerak’. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e-‘ untuk
memberi arti ‘bergerak menjauh’. Makna ini menyiratkan kesan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Perkembangan
sosio-emosional peserta didik termasuk suatu pembahasan yang sangat penting
karena dengan mengetahui perkembangan sosio-emosional peserta didik, para
pendidik dapat mengambil tindakan pada permasalahan peserta didik dengan
berbagai karakteristik dan sifat yang berbeda-beda. Sosio-emosional adalah
perubahan yang terjadi pada diri setiap individu dalam warna afektif yang
menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Dalam pembahasan
sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam sosioemosional pada remaja. Pada
masa remaja, tingkat karakteristik emosional akan menjadi drastis tingkat
kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja seperti perasaan sayang,
cinta dan benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu dicermati dan dipahami
dengan baik. Sebagai pendidik. kita harus mengetahui setiap aspek yang
berhubungan dengan perubahan tingkah laku dalam perkembangan remaja, serta
memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi
yang baik dengan remaja. Perkembangan emosi remaja merupakan suatu titik yang
mengarah pada proses dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan
sulit dilepaskan pada diri remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Faktor yang
sangat memengaruhi perkembangan peserta didik pada usia remaja yaitu didikan
orang tua, lingkungan sekitar tempat tinggal dan perlakuan guru di sekolah.
Pengaruh sosio-emosional yang baik pada remaja terhadap diri sendiri yaitu
untuk mengendalikan diri, memutuskan segala sesuatu dengan baik, serta bisa
lebih merencanakan segala hal yang akan diputuskannya, sedangkan terhadap orang
lain, yaitu mampu menjalin kerjasama yang baik, saling menghargai dan mampu
memposisikan diri di lingkungan dengan baik. Agar seorang peserta didik dapat
memiliki kecerdasan emosi dengan baik haruslah dibentuk sejak usia dini, karena
pada saat itu sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia
selanjutnya. Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian anak telah terbentuk.
Jelaslah sudah betapa pentingnya seorang pendidik memahami perkembangan
sosio-emosional peserta didik, agar dalam proses pembelajaran perkembangan
sosio-emosional peserta didik yang berbeda-beda dapat diatasi dengan baik.
IV.
PERKEMBANGAN
MORAL PESERTA DIDIK
Seto Mulyadi
(2002a) menyatakan tentang Robert Coles yang menggagas tentang kecerdasan moral
yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam
hidupnya. Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang anak untuk bisa menghargai
dirinya sendiri maupun diri orang lain, memahami perasaan terdalam orang-orang
di sekelilingnya, mengikuti aturan-aturan yang berlaku, semua ini termasuk
merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak di masa depan. Suasana damai dan
penuh kasih sayang dalam keluarga, contoh-contoh nyata berupa sikap saling
menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan menghadapi kesulitan, sikap
disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa, lebih banyak tersenyum
daripada cemberut, semua ini memungkinkan anak mengembangkan kemampuan yang
berhubungan dengan kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional maupun kecerdasan
moralnya.
Teori Kohlberg
telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran
moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran prakovensional,
konvensional, dan pascakonvensional.
1) Tingkat Satu:
Penalaran Prakonvesional
Penalaran
prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi
nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan
hukuman ekternal.
Contoh dalam
dunia pendidikan: Peserta didik mau belajar kalau mendapatkan hadiah uang.
2) Tingkat Dua:
Penalaran Konvensional
Penalaran
konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan
moral Kohlberg. Seorang menaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi
mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua
atau masyarakat.
Contoh: siswa di
satu kesempatan mau belajar dengan tekun karena kesadaran sendiri tetapi tidak
mau menaati perintah orang tua yang mengharuskan belajar dari pukul 19.00
sampai dengan pukul 21.00
3) Tahap Tiga:
Penalaran Pascakonvensional
Penalaran
pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak
didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral
alternatif, menjajaki pilihan-pilihan,
dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Contoh : Anak
dengan penuh kesadaran menaati tata tertib sekolah baik diawasi atau tidak, ada
sanksi atau tidak.
V. BEKAL AWAL PESERTA DIDIK
Bekal ajar awal
peserta didik dapat pula diartikan kemampuan awal (entry behavior)
adalah kemampuan
yang yang telah diperoleh peserta didik sebelum dia memperoleh kemampuan
terminal tertentu yang baru. Kemampuan awal menunjukkan status pengetahuan dan
keterampilan peserta didik sekarang untuk menuju ke status yang akan datang
yang diinginkan guru agar tercapai oleh peserta didik. Dengan kemampuan ini
dapat ditentukan darimana pengajaran harus dimulai.
Identifikasi
bekal ajar awal peserta didik bertujuan untuk:
1) Memperoleh
informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan awal peserta didik
sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu;
2) Menyeleksi
tuntutan, bakat, minat, kemampuan serta kecendrungan peserrta didik berkaitan
dengan pemilihan program program pembelajaran tertentu yang akan diikuti
mereka; dan
3) Menentukan
desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu dikembangkan
sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.
Teknik
Mengaktifkan Bekal Ajar Awal Peserta Didik
untuk mengetahui
kemampuan awal peserta didik, seorang pendidik dapat melakukan tes awal
(pre-test). Tes yang diberikan dapat berkaitan dengan materi ajar sesuai dengan
panduan kurikulum. Selain itu pendidik dapat melakukan wawancara, observasi,
dan memberikan kuisioner kepada peserta didik atau calon peserta didik, serta
guru yang biasa mengampu pelajaran tersebut. Teknik yang paling tepat untuk
mengetahui bekal ajar awal peserta didik yaitu tes. Teknik tes ini menggunakan
tes prasyarat dan tes awal. Sebelum memasuki pelajaran sebaiknya guru membuat
tes prasyarat dan tes awal. Tes prasyarat adalah tes untuk mengetahui apakah
peserta didik telah memiliki pengetahuan keterampilan yang diperlukan atau di
syaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran. Sedangkan tes awal adalah tes untuk
mengetahui seberapa jauh siswa telah memiliki pengetahuan atau keterampilan
mengenai pelajaran yang hendak diikuti. Benjamin S. Bloom melalui beberapa
eksperimen membuktikan bahwa “untuk belajar yang bersifat kognitif apabila
pengetahuan atau kecakapan pra syarat ini tidak dipenuhi, maka betapa pun
kualitas pembelajaran tinggi, maka tidak akan menolong untuk memperoleh hasil
belajar yang tinggi”. Hasil pretest juga sangat berguna untuk mengetahui
seberapa jauh pengetahuan yang dimiliki dan sebagai perbandingan dengan hasil
yang dicapai setelah mengikuti pelajaran. Jadi kemampuan awal sangat diperlukan
untuk menunjang pemahaman siswa sebelum diberi pengetahuan baru karena kedua
hal tersebut saling berhubung.
VI.
MENGIDENTIFIKASI
DAN MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA
A. Pengertian Kesulitan Belajar Siswa
Hamalik (hal:
1983) menyatakan kesulitan belajar dapat diartikan sebagai keadaan di mana
peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Keadaan tersebut tidak
bisa diabaikan oleh seorang pendidik karena dapat menjadi penghambat tujuan
pembelajaran. Kesulitan belajar tidak hanya disebabkan oleh faKtor intelegensi yang
rendah, akan tetapi bisa disebabkan oleh faktor-faktor nonintelegensi. Oleh
karena itu, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Wood
(2007:33) menyatakan kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses
belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai
hasil belajar. Hambatan-hambatan tersebut diakibatkan oleh faktor yang berasal
dari dalam diri peserta didik maupun luar diri peserta didik.
B. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar Siswa
Empat jenis
kesulitan/gangguan belajar dalam perkembangan seorang anak:
1. Kesulitan belajar akademis, meliputi
kesulitan membaca, kesulitan menulis, dan kesulitan berhitung.
2. Gangguan simbolik, yaitu ketidakmampuan anak untuk dapat
memahami suatu obyek sekalipun ia tidak memiliki kelainan pada organ tubuhnya.
3. Gangguan nonsimbolik, yaitu ketidakmampuan
anak untuk memahami isi pelajaran karena ia mengalami kesulitan untuk mengulang
kembali apa yang telah dipelajarinya.
4. Ganguan sosial-emosional, yaitu gangguan
yang berasal dari lingkungan dan emosi dalam diri anak.
C. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
Penyebab
kesulitan belajar antara lain sebagai berikut.
1. Faktor
intelektual, yaitu inteligensi yang rendah dan terbatas;
2. Faktor
kondisi fisik dan kesehatan, termasuk kondisi kelainan, seperti kurangnya gizi
pada ibu hamil, bayi dan anak, kerusakan susunan dan fungsi otak, dan penyakit
persalinan;
3. Faktor
sosial,seperti pengaruh teman bermain, pergaulan dan lingkungan sekitar;
4. Faktor
keluarga, seperti keadaan keluarga yang tidak baik dan kurangnya dukungan
belajar dari orang tua.
D. Cara
Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Cara mengatasi
mengatasi kesulitan belajar adalah sebagai berikut.
1. tempat duduk
siswa
Anak yang
mengalami kesulitan pendengaran dan penglihatan hendaknya mengambil posisi
tempat duduk bagian depan.
2. Gangguan
kesehatan
Anak yang
mengalami gangguan kesehatan sebaiknya diistirahatkan di rumah dengan tetap
memberinya bahan pelajaran dan dibimbing oleh orang tua dan keluarga lainnya.
3. Program
remedial
Siswa yang gagal
mencapai tujuan pembelajaran akibat gangguan internal, perlu ditolong dengan
melaksanakan program remedial.
4. Bantuan media
dan alat peraga
Penggunaan alat
peraga pelajaran dan media belajar kiranya cukup membantu siswa yang mengalami
kesulitan menerima materi pelajaran. Misalnya,
karena materi pelajaran bersifat abstrak sehingga sulit dipahami siswa.
5. Suasana
belajar menyenangkan
Suasana belajar
yang nyaman dan menggembirakan akan membantu siswa yang mengalami hambatan
dalam menerima materi pelajaran.
E. Rancangan
Kegiatan Mengatasi Kesulitan Belajar Peserta Didik
Rancangan
mengatasi kesulitan belajar peserta didik dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut.
1. Bimbingan
Belajar
Bimbingan
belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh
melalui langkah-langkah sebagai berikut : (1) Identifikasi kasus; Identifikasi
kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan
bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan
beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga
mebutuhkan layanan bimbingan belajar. (2) Call them approach; melakukan
wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara
ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
(3) Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat
dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan
kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler,
rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. (4) Developing a desire for
counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan
masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang
bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat,
dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai
tindak lanjutnya. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara
ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang
dihadapi siswa. (5) Melakukan analisis sosiometris; dengan cara ini dapat
ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan Penyesuaian social
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini
merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang
dihadapi siswa. Dalam konteks proses belajar mengajar, permasalahan siswa dapat
berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural –
fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi
masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak
masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini
sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar
aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d)
ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran;
(g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan
keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan
sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran
dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru
pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru
pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek
kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau
guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
Sumber Pustaka
Doyin, Mukh dan
Supriyono. 2015. Materi UKG Bahasa
Indonesia 2015. Semarang: Bandungan Institute
Wibowo, Hari
dkk. 2016. Karakteristik Peserta Didik.
Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
BAHAN PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPG 2018
1. 100
SOAL PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPG KOMPETENSI PEDAGOGIK
2. PEMBAHASAN/RINGKASAN
MATERI PEDAGOGIK: KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK
3. PEMBAHASAN/RINGKASAN
MATERI PEDAGOGIK: PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN TEORI PEMBELAJARAN
4. PEMBAHASAN/RINGKASAN
MATERI PEDAGOGIK: RANCANGAN PEMBELAJARAN
5. PEMBAHASAN/RINGKASAN
MATERI PEDAGOGIK: PENILAIAN DAN PTK
bang zuhri minta tolong biar materinya bisa di download..makasih
ReplyDeleteTerima kasih. Semoga di beri kemudahan , bagaimana modul bisa di download
ReplyDeleteTerima kasih atas ringkasan materinya mudah mudahan bisa membantu saya agar bisa mengerjakan soal dengan baik dan benar.
ReplyDeleteaamiin, terima kasih juga, moga sukses
DeleteTerimakasih yah...
ReplyDeleteRingkasan materinya
terima kasih juga, moga sukses
DeleteTerima kasih ... sangat membantu
ReplyDeletealhamdulillah, terima kasih juga, semoga sukses
DeleteAlhamdulillah...dapat ringkasan materi terimakasih yaaaa
ReplyDeletealhamdulillah, terima kasih juga, semoga sukses
DeleteTerima kasih ya ringkasan materinya.sangat bermanfaat.
ReplyDeletealhamdulillah, terima kasih juga, semoga sukses
DeleteTerima kasih pak...materi ini sangat mmbantu pemahaman saya trhadap prserta didik
DeleteTerima kasih banyak bapak semoga Allah swt membalas kebaikan bapak aamiin
ReplyDelete