29 April 2017

MODUL III BAHASA INDONESIA PERSIAPAN PRAKONDISI DI PLPG 2017


Hal yang membedakan PLPG tahun 2017 adalah adanya program prakondisi seperti dikutip dari www.sertifikasiguru.id., Pada Prakondisi di PLPG 2017 Peserta PLPG 2017 wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara mandiri dan dapat diunduh melalui laman sertifikasiguru.id

(PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 BISA DIUNDUH DI SINI)

Sebagai persiapan pendalaman modul Materi Bidang Studi Bahasa Indonesia di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan Modul 3 Pendalaman Bidang Studi Bahasa Indonesia. Modul ini merupakan modul pada PLPG 2016. Pada modul 3 ini dibahas Kedudukan, Fungsi, dan Ragam Bahasa Indonesia.




KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN RAGAM
BAHASA INDONESIA
Drs. Azhar Umar, M.Pd








KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016











BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN RAGAM BAHASA INDONESIA


A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat memahami kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Guru
Indikator Pencapaian Kompetensi
3. Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia
3.1 Mengidentifikasi kedudukan bahasa
Indonesia dengan tepat.
3.2 Mengidentifikasi fungsi bahasa
Indonesia sebagai alat pemersatu.
3.3 Mengidentifikasi jenis ragam
tingkat keformalan (beku/ frozen
style
)
3.4 Mengidentifikasi jenis ragam tingkat keformalan (formal)
3.5 Mengidentifikasi jenis ragam tingkat keformalan (informal)
3.6 Mengidentifikasi jenis ragam tingkat keformalan (akrab)


C. Uraian Materi
1. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
1.1 Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang berasal dari bahasa Melayu. Bahasa tersebut sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau bahasa pergaulan, tidak hanya di Kepulauan Nusantara, tetapi juga di hamper seluruh Asia Tenggara. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti-prasasti kuno yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu.
Secara resmi, bahasa Indonesia dikumandangkan pada peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Peresmian nama bahasa Indonesia tersebut bermakna politis sebab bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat perjuangan oleh kaum nasionalis yang sekaligus bertindak sebagai perencana bahasa untuk mencapai negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Peresmian nama itu juga menunjukan bahwa sebelum peristiwa Sumpah Pemuda itu nama bahasa Indonesia sudah ada. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum tahun 1928 telah
ada gerakan kebangsaan yang menggunakan nama “Indonesia” dan dengan sendirinya pada mereka telah ada suatu konsep tentang bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu, sebagai salah satu bahasa di kepulauan nusantara, sudah sejak lama digunakan sebagai bahasa perhubungan. Sejak abad ke-7 Masehi, bahasa Melayu, atau lebih tepatnya disebut bahasa Melayu kuno yang menjadi cikal bakalnya, telah digunakan sebagai bahasa perhubungan pada zaman kerajaan Sriwijaya. Selain sebagai bahasa perhubungan, pada zaman itu bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, bahasa perdagangan, dan sebagai bahasa resmi kerajaan. Bukti-bukti sejarah, seperti prasasti Kedukan Bukit di Palembang
bertahun 684, prasasti Kota Kapur di Bangka Barat bertahun 686 , prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi bertahun 688 yang bertuliskan Prae-Nagari dan berbahasa Melayu kuno, memperkuat dugaan di atas. Selain itu, prasasti Gandasuli di Jawa Tengah bertahun 632 dan prasasti Bogor bertahun 942 yang berbahasa Melayu Kuno menunjukan bahwa bahasa tersebut tidak saja dipakai di Sumatra, tetapi juga dipakai di Jawa. Beberapa alasan lain yang mendorong
dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan adalah (1) bahasa Indonesia sudah merupakan lingua franca, yakni bahasa perhubungan antaretnis di Indonesia, (2) walaupun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Madura, bahasa Melayu memiliki daerah penyebaran yang sangat luas dan yang melampaui batas-batas wilayah bahasa lain, (3) bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa nusantara lain sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing lagi, (4) Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana sehingga relatif mudah dipelajari, (5) faktor psikologis, yaitu adanya kerelaan dan keinsafan dari penutur bahasa Jawa dan Sunda, serta penutur bahasa-bahasa lain, untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, (6) bahasa Melayu memiliki kesanggupan untuk dapat dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.
1.2 Kedudukan Bahasa Indoensia
Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nsional, bahasa Indonesia di antaranya berfungsi mempererat hubungan antarsuku di Indonesia. Fungsi ini, sebelumnya, sudah ditegaskan di dalam butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”.
Kata ‘menjunjung’ dalam KBBI antara lain berarti ‘memuliakan’, ‘menghargai’,dan ‘menaati’ (nasihat, perintah, dan sebaginya.). Ikrar ketiga dalam Sumpah Pemuda tersebut menegaskan bahwa para pemuda bertekad untuk memuliakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Pernyataan itu tidak saja merupakan pengakuan “berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyatakan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa
persatuan, yaitu bahasa Indonesia (Halim dalam Arifin dan Tasai, 1995: 5). Ini berarti pula bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dikukuhkan sehari setelah kemerdekaan RI dikumandangkan atau seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945. Bab XV Pasal 36 dalam UUD 1945 menegaskan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa dalam penyelenggaraan administrasi
negara, seperti bahasa dalam penyeelenggaraan pendidikan dan sebagainya.
1.3 Fungsi Bahasa Indonesia
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) Lambang kebanggaan kebangsaan, 2) Lambang identitas nasional, 3) Alat penghubung antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, 4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan, serta rasa kebanggaan memakainya senantiasa kita bina. Pada fungsi ini, bahasa Indonesia kita junjung di samping bendera dan lambang negara kita.
Di dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang kebangsaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga tidak bergantung padai unsur-unsur bahasa lain.
Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di tanah air dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi.
Selain fungsi-fungsi di atas, bahasa Indonesia juga harus berfungsi sebagai alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat. Di dalam fungsi ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai social  budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu,
dengan bahasa nasional itu, kita dapat meletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan.
Pada bagian terdahulu, secara sepintas, sudah dikatakan bahwai dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) bahasa resmi kenegaraan, 2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, 3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan 4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Termasuk ke dalam kegiatan-kegiatan itu adalah penulisan dokumendokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya, serta pidato-pidato kenegaraan.
Pada fungsi kedua ini, bahasa Indonesia dijadikan sebagai pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Meskipun lembaga-lembaga pendidikan tersebut tersebar di daerah-daerah, mereka harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Memang ada pengecualian untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas-kelas rendah sekolah dasar di daerah-daerah. Mereka diizinkan menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar.
Di dalam hubungannya dengan fungsi ketiga di atas, yakni alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, bahasa Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat
perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya.
Sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciriciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang sama, bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai social budaya nasional kita (Halim dalam Arifin dan Tasai, 1995: 11-12).
2. Ragam Bahasa
2.1 Pengertian Ragam Bahasa
Sebagi gejala sosial, pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktorfaktor kebahasaan, tetapi juga oleh faktor-faktor nonkebahasaan, antara lain faktor lokasi geografis, waktu, sosiokultural, dan faktor situasi. Faktor-faktor di atas mendorong timbulnya perbedaan-perbedaan dalam pemakaian bahasa. Perbedaan tersebut akan tampak dalam segi pelafalan, pemilihan kata, dan penerapan kaidah tata bahasa. Perbedaan atau varian dalam bahasa, yang masing-masing menyerupai pola umum bahasa induk, disebut ragam bahasa.
Ragam bahasa yang berhubungan dengan faktor daerah atau letak geografis disebut dialek. Bahasa Melayu dialek Langkat, misalnya, berbeda dengan bahasa Melayu dialek Batubara, walaupun keduanya satu bahasa. Demikian pula halnya dengan bahasa Aceh dialek Aceh Besar berbeda dengan bahasa Aceh dialek Pasai yang digunakan sebagaian besar masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara, atau berbeda juga dengan bahasa Aceh dialek Pidie di Kabupaten Pidie. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), saat ini, sekurang-kurangnya hidup 6 dialek,
masing-masing dialek Aceh Besar, Pidie, Peusangan, Pasai, Aceh Timur, dan Aceh
Barat (lihat Sulaiman dkk., 1983:5).
Selain ragam di atas, ada lagi ragam bahasa yang berkaitan dengan perkembangan waktu yang lazim disebut kronolek. Misalnya, bahasa Melayu masa Kerajaan Sriwijaya berbeda dengan bahasa Melayu masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsji, dan berbeda pula dengan bahasa Melayu Riau sekarang.
Ragam bahasa yang berkaitan dengan golongan sosial para penuturnya disebut dialek sosial. Faktor-faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa, antara lain, adalah tingkat pendidikan, usia, dan tingkat sosial ekonomi. Bahasa golongan buruh, bahasa golongan atas (bangsawan dan orang-orang berada), dan bahasa golongan menengah (orang-orang terpelajar) akan memperlihatkan perbedaan dalam berbagai bidang. Dalam bidang tata bunyi, misalnya, bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/ sering terdapat dalam ujaran kaum yang berpendidikan, seperti pada bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan kompleks. Bagi orang yang tidak dapat menikmati pendidikan formal, bentuk-bentuk tersebut sering diucapkan padil, pakultas, pilm, pitnah, dan komplek. Demikian pula, ungkapan “apanya, dong?” dan “trims” yang disebut bahasa prokem sering diidentikkan dengan bahasa anak-anak muda.
Demikianlah ragam-ragam bahasa itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat penutur bahasa. Satu hal yang perlu mendapat catatan bahwa semua ragam bahasa tersebut tetaplah merupakan bahasa yang sama. Dikatakan demikian karena masing-masing penutur ragam bahasa sesungguhnya dapat memahami ragam bahasa lainnya (mutual intelligibility). Bila pada suatu ketika saling pengertian di antara masing-masing penutur ragam tidak terjadi lagi, maka ketika itu pula masing-masing bahasa yang mereka pakai gugur statusnya sebagai ragam bahasa. Dengan pernyataan lain, ragam-ragam bahasa itu sudah berubah menjadi bahasa baru atau bahasa mandiri.
2.2 Keberagaman Bahasa Indonesia
Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing berbagi intisari bersama yang umum.
2.2.1 Ragam Bahasa Menurut Daerah
Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa yang luas wilayah pemakaiannya selalu mengenal logat. Masing-masing logat dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur logat yang daerahnya berdampingan. Jika di dalam wilayah pemakaiannya, individu atau sekelompok orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena tempat keadiamannya dipisahkan oleh pegunungan, selat, atau laut, maka lambat laun tiap logat dapat mengalami perkembangan sendiri-sendiri yang selanjutnya semakin sulit dimengerti oleh penutur ragam lainnya. Pada saat itu, ragam-ragam bahasa tumbuh menjadi bahasa yang berbeda.
2.2.2 Ragam Bahasa Menurut Pendidikan Formal
Ragam bahasa Indonesia menurut pendidikan formal, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi bahasa Indonesia golongan penutur yang kedua itu berbeda dengan fonologi kaum terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya
berpendidikan rendah.
2.2.3 Ragam Bahasa Menurut Sikap Penutur
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing, pada asasnya, tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini, yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur atau penulis terhadap orang yang diajak berbicara atau penbacanya. Sikapnya itu dipengaruhi, antara lain, oleh usia dan kedudukan orang yang disapa, tingkat keakraban antarpenutur, pokok persoalan yang hendak disampaikan, dan
tujuan penyampaian informasinya. Ketika berbicara dengan seseorang yang berkedudukan lebih tinggi, penutur akan menggunakan langgam atau gaya berbahasa yang berbeda daripada ketika dirinya berhadapan dengan seseorang yang berkedudukan lebih rendah. Begitu juga halnya ketika berbicara dengan seseorang yang usianya lebih muda atau tua, penutur tentulah akan menggunakan langgam atau gaya bertutur yang berbeda.
2.2.4 Ragam Bahasa Menurut Jenis Pemakaiannya
Menurut jenis pemakaiannya, ragam bahasa dapat dirinci menjadi tiga macam, masing-masing (1) berdasarkan pokok persoalannya, (2) berdasarkan media pembicaraan yang digunakan, dan (3) berdasarkan hubungan antarpembicara. Berdasarkan pokok persoalannya, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa sehari-hari. Berdasarkan media pembicaraan, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan (ragam bahasa cakapan, ragam bahasa pidato, ragam bahasa kuliah, dan ragam bahasa panggung), ragam tulis (ragam bahasa teknis, ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa catatan, dan ragam bahasa surat). Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibedakan menjadi ragam bahasa resmi, ragam bahasa santai, ragam bahasa akrab, ragam baku dan ragam takbaku. Situasi resmi, yang menuntut pemakaian ragam baku, tercermin dalam situasi berikut ini: (1) komunikasi resmi, yakni dalam surat-menyurat resmi, suratmenyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansiinstansi resmi, penamaan dan peristilahan resmi, perundang-undangan, dan sebagainya; (2) wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karya ilmiah; (3) pembicaraan di depan umum, yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah, dan sebagainya; dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati.
Ragam bahasa baku merupakan ragam orang yang berpendidikan. Kaidah-kaidah ragam baku paling lengkap pemeriannya jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam ini tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Ragam inilah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Ragam bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Kebakuannya itu tidak dapat berubah setiap saat.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Sifat kecendekiaan ini terwujud di dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa yang lebih besar lainnya yang mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa baku ini amat penting bila masyarakat penutur memang mengidealisasikan bahasa Indonesia berkemampuan menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hingga saat ini, untuk hal yang disebutkan terakhir, masyarakat Indonesia masih sangat bergantung kepada bahasa asing.
Bahasa baku mendukung beberapa fungsi, di antaranya adalah (a) fungsi pemersatu dan (b) fungsi pemberi kekhasan Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Fungsi
pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Hal itu terlihat pada penutur bahasa Indonesia.
Untuk mendukung pemantapan fungsi bahasa baku diperlukan sikap tertentu dari para penutur terhadap bahasa baku. Setidak-tidaknya, sikap terhadap bahasa baku mengandung tiga dimensi, yaitu (1) sikap kesetiaan bahasa, (2) sikap kebanggaan bahasa, dan (3) sikap kesadaran akan norma atau kaidah bahasa. Setia terhadap bahasa baku bermakna selalu atau senantiasa kukuh untuk menjaga atau memelihara bahasa tersebut dari pengaruh-pengaruh bahasa lain secara
berlebihan, terutama bahasa asing. Bangga terhadap bahasa baku tercermin di dalam perasaan senang dan tidak sungkan menggunakan bahasa baku di dalam situasi-situasi yang mengharuskan penggunaan ragam bahasa tersebut. Kesadaran akan norma bahasa baku terlihat di dalam kesungguhan untuk memahami dan menggunakan kaidah-kaidah bahasa tersebut dengan setepat-tepanya dalam rangka pengungkapan nalar yang logis.
Dalam konteks bahasa baku di atas, perlu pula disinggung sekilas mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pengaitan ini penting agar tidak timbul kerancuan pemahaman mengenai keduanya. Pada peringatan ke-87 hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1995, di Jakarta, Kepala Negara menekankan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Akhir-akhir ini, dampak seruan tersebut semakin terasa. Slogan “Gunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar”
pada kain rentang dapat kita temukan di mana-mana. Namun, gencarnya pemasyarakatan ungkapan tersebut belum tentu diikuti pemahaman yang benar tentang maknanya. Karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan makna serta kriteria bahasa yang baik dan bahasa yang benar tersebut. Kriteria yang dipakai untuk menentukan bahasa Indonesia yang benar adalah kaidah bahasa.
Kaidah-kaidah bahasa yang dimaksudkan tersebut meliputi aspek (1) tata bunyi, (2) tata kata dan tata kalimat, (3) tata istilah, (4) tata ejaan, dan (5) tata makna. Benar tidaknya bahasa Indonesia yang kita gunakan bergantung pada benar tidaknya pemakaian kaidah bahasa. .
Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa dengan konteks, peristiwa, atau keadaan yang dihadapi. Orang yang mahir memilih ragam bahasa dianggap berbahasa dengan baik. Bahasanya membuahkan efek atau hasil karena sesuai dengan tuntutan situasi. Pemilihan ragam yang cocok merupakan tuntutan komunikasi yang tak bisa diabakan begitu saja. Pemanfaatan ragam bahasa yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis
pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat.
Dari deskripsi di atas dapatlah dipastikan bahwa istilah bahasa baku tidak sepenuhnya sepengertian dengan bahasa yang baik dan benar. Bahasa baku hanya terkait dengan bahasa yang benar.

POSTINGAN TERKAIT
TIPS SUKSES DI PRAKONDISI PLPG 2017 BACA DI SINI
MODUL PEDAGOGIK PERSIAPAN  PRAKONDISI PLPG 2017 UNDUH DI SINI
MODUL LENGKAP PERSIAPAN PRAKONDISI BAHASA INDONESIA UNDUH DI SINI

1 comment:

  1. Jadi materi yang esensial dan tidak esensial kira2 bagian mana ya?mohon pencerahan

    ReplyDelete