30 April 2017

MODUL II PERSIAPAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA


Berdasarkan informasi yang ada di www.sertifikasiguru.id., Peserta PLPG 2017 wajib mempelajari Modul Pedagogik dan Modul Pendalaman Materi Bidang Studi secara mandiri dan dapat diunduh melalui laman sertifikasiguru.id

(PETUNJUK PELAKSANAAN PRAKONDISI DI PLPG 2017 BISA DIUNDUH DI SINI)

Sebagai persiapan pendalaman modul Materi Bidang Studi Bahasa Indonesia di prakondisi PLPG 2017 kami sajikan Modul 2 Pendalaman Bidang Studi Bahasa Indonesia. Modul ini merupakan modul pada PLPG 2016. Pada modul 2 ini dibahas berbagai Hakikat Bahasa dan Pemerolehan Bahasa.



HAKIKAT BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA
Drs. Azhar Umar, M.Pd




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016















BAB II
HAKIKAT BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA


A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan memiliki pemahaman terhadap konsep hakikat bahasa, hakikat pemerolehan bahasa, dan jenis-jenis pemerolehan bahasa dengan baik
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Guru
Indikator Pencapaian Kompetensi
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
2.1 Mengidentifikasi konsep hakikat bahasa.
2.2 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (fonologi)
2.3 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (morfologi).
2.4 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (sintaksis).
2.5 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (semantic)
2.6 Mengidentifikasi konsep pemerolehan bahasa (pragmatik).
2.7 Membedakan pemerolehan dan
pembelajaran bahasa
2.8 Menentukan tahapan pemerolehan
bahasa anak
2.9 Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa


C. Uraian Materi
1. Hakikat Bahasa
Menurut Keraf (1984: 16), bahasa adalah alat komunikasi antar-anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Meskipun batasan bahasa yang dikemukakan Keraf ini terlihat sangat sederhana, apa yang menjadi hakikat bahasa dan lambang bunyi suara itu tidaklah serta merta dapat dipahami dan disepakati dengan mudah oleh semua pihak. Untuk mempermudah pemahaman kita mengenai hal tersebut, baiklah kita simak ilustrasi berikut ini.
Bila seorang asing berbicara dalam bahasa yang tidak kita pahami, yang terdengar kepada kita hanyalah bunyi yang berselang-seling yang rumit sekali. Dalam waktu yang relatif lama, barulah bunyi-bunyi tersebut dapat kita bedabedakan. Bunyi-bunyi dan urutannya akan semakin jelas kepada kita karena ia berulang. Apabila kita akhirnya memahami bahasa tersebut, maka tampaklah kepada kita bahwa ada aturan-aturan yang menguasai pemakaian bunyi dan urutan-urutannya itu.
Di dalam bahasa Inggeris, misalnya, tidak terdapat bunyi (ny) seperti yang terdapat di dalam bahasa Indonesia nyinyir atau nyonya. Bunyi (ng) di dalam bahasa asing itu tidak pernah terdapat di awal kata, seperti yang terdapat di dalam kata bahasa Indonesia ngeri, misalnya. Sebaliknya, ada juga urutan-urutan bunyi di dalam bahasa Inggeris, seperti (spl) atau (spr), yang terdapat di dalam kata-kata splash dan spring, yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia.
Di dalam bahasa Inggeris terdapat kata-kata majemuk, seperti flower garden atau bus station, yang kata keduanya merupakan pokok dan kata pertama menjelaskan kata kedua. Di dalam bahasa Indonesia terjadi hal yang sebaliknya. Kata-kata majemuk seperti stasiun bus atau kebun bunga, justru kata-kata pertamanyalah yang menjadi pokok, sedangkan kata kedua menjadi penjelas kata pertama.
Dari contoh-contoh di atas, dan banyak lagi contoh lainnya yang dapat dikemukakan di sini, jelaslah bahwa tiap bahasa memiliki aturan-aturannya sendiri yang menguasai hal-hal bunyi dan urutan-urutanny, hal-hal kata dan susunannya, dan sebagainya. Dapatlah disimpulkan bahwa bahasa itu sesungguhnya adalah kumpulan pola-pola, kumpulan kaidah-kaidah yang kemudian disebut sistem. Jadi, bahasa adalah sistem unsur-unsur dan kaidah-kaidah.
Bila pertama kali kita melihat sebuah benda, dan orang yang memahami benda itu menyebutnya dengan ‘jam’, maka urutan bunyi /j/, /a/, dan /m/ kita asosiasikan dengan benda tersebut. Kemudian, meskipun benda tersebut tidak lagi berada di hadapan kita, bila kita mendengar seseorang mengucapkan urutan bunyi itu, maka kita akan serta-merta mengasosiasikannya dengan benda tersebut. Demikianlah, terjadinya proses asosiasi antara bunyi-bunyi (baik berupa kata maupun kalimat) dengan sesuatu (benda maupun konsep) menunjukkan ketinggian akal budi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Urutan bunyi /j/, /a/, dan /m/ itu, dalam pikiran manusia, ternyata adalah lambang-lambang yang berdiri untuk sesuatu yang lain yang dapat diterangkan sebagai “Sesuatu yang terdiri atas berbagai roda kecil yang digerakkan oleh beberapa per, yang ditempatkan di dalam sebuh kotak besar atau kecil, dan yang fungsinya untuk
menunjukkan waktu.” Seperti diketahui, sesuatu yang berdiri untuk sesuatu yang lain disebut tanda. Dengan demikian jelaslah bahwa bahasa itu sesungguhnya adalah sistem tanda.
Tidak terdapat hubungan logis atau rasional antara bunyi-bunyi bahasa dengan sesuatu yang dilambangkannya. Untuk menjelaskan hal ini, ambillah konsep K sebagai kasus. K adalah binatang berkaki empat, berkuku satu dan banyak dijinakkan untuk keperluan manusia, baik untuk membantunya sebagai binatang poenarik maupun untuk hiburan di dalam pacuan. Orang Indonesia menyebut konsep K ini dengan urutan bunyi [k-u-d-a]; orang Inggeris menyebutnya
[h-o-r-s-e], dan orang Jawa menyebutnya dengan [j-a-r-a-n]. Sekiranya ada hubungan yang rasional atau logis antara bunyi-bunyi dengan bendanya, tentulah tidak akan ada perbedaan urutan bunyi di dalam bahasa-bahasa di dunia ini untuk konsep yang sama, seperti contoh-contoh yang telah diberikan di atas. Jadi jelaslah, tidak ada hubungan yang rasional dan logis antara bunyi-bunyi sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkannya. Dengan kata-kata lain, urutan bunyi dalam satu bahasa bersifat mana suka atau arbitrer. Kecil pula kemungkinan bagi seseorang untuk mengganti urutan bunyi dalam bahasanya untuk sebuah konsep yang sudah ada. Betapa pun diktatornya kekuasaan seseorang di suatu tempat, tidak mungkin baginya mengganti urutan bunyi [k-u-d-a], untuk konsep yang telah dikemukakan di atas, dengan urutan bunyi lain, misalnya menjadi [k-r-a-u]. Jika pun dimungkinkan, maka penggantian urutan bunyi bahasa itu haruslah mendapat persetujuan atau kesepakatan sejumlah besar masyarakat pemakai bahasa. Dari deskripsi di atas dapatlah disimpulkan bahwa urutan-urutan bunyi itu mestilah mencapai sifat konvensional untuk dapat dianggap sebagai kata-kata di dalam bahasa itu. Sifat inilah yang menentukan, baik perubahan arti maupun hidup dan matinya kata-kata dalam satu bahasa dapatlah disimpulkan bahwa dari seluruh paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa hakikat bahasa itu dicirikan oleh empat hal, yakni (1) bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, (2) bahasa adalah sistem tanda, (3) bahasa itu arbitrer/mana suka, dan (4) bahasa bersifat konvensional (lihat Samsuri, 1981: 9-12)


2. Pemerolehan Bahasa
2.1 Konsep Pemerolehan Bahasa
Simanjuntak (1987: 157) mengatakan, proses pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang kanak-kanak (bayi) sewaktu memperoleh bahasa ibundanya. Ditambahkan Simanjuntak bahwa proses itu berlangsung tanpa disadari oleh kanak-kanak itu sendiri. Kiparsky mengajukan batasan yang lebih kompleks lagi. Menurut Kiparsky (dalam Tarigan, 1985: 243). pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang
digunakan anak-anak untuk menyesuaikan seperangkan hipotesis yang makin bertambah rumit, atau pun teori-teori yang masih terpendam, dengan ucapanucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasrkan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut. Kanak-kanak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-kenyataan bahasa yang dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orang tuanya, serta pembaharuan-pembaharuan yang telah mereka perbuat, sebagai tata bahasa tunggal. Kemudian, dia menyusun atau membangun suatu tata bahasa yang baru serta yang disederhanakan dengan pembaharuan-pembaharuan yang dibuatnya sendiri.
Berbicara mengenai pemerolehan bahasa, kita tidak dapat melepaskan diri dari berbicara mengenai alat pemerolehan bahasa (language acquisition device atau LAD). LAD merupakan alat hipotetis yang – berdasarkan input data linguistic primer suatu bahasa – menghasilkan output yang terdiri atas tata bahasa yang adekuat secara deskriptif bagi bahasa tersebut. Skema ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Peralatan pemerolehan bahasa haruslah merupakan keberdikarian bahasa (language independent), yaitu mampu memelajari setiap bahasa manusia yang mana saja dan harus menyediakan serta menetapkan suatu batasan pengertian atau gagasan ‘bahasa manusia’ (Chomsky dalam Tarigan, 1985: 244). Ada yang mengatakan bahwa LAD adalah sejenis kotak hitam atau black box di dalam otak manusia.
Dari wacana di atas dapat ditarik simpulan adanya suatu model pemerolehan (acquisition model) bahasa. Yang dimaksud dengan model pemerolehan adalah suatu siasat yang digunakan anak-anak untuk menyusun tata bahasa yang tepat bagi bahasanya – untuk memelajari bahasanya – berdasarkan suatu sampel data linguistik utama yang terbatas.
2.2 Pemerolehan Bahasa Anak
Para ahli umumnya setuju bahwa penelitian mengenaai pemerolehan bahasa kanak-kanak sangat perlu dilakukan dan dikembangkan. Setidaknya, ada tiga alasan penelitian tersebut penting dilakukan, yakni:
(1) bahwa hal itu sendiri memang menarik,
Data linguistik primer
à Sistem LAD àTata bahasa
(2) hasil-hasil dari telaah pemerolehan bahasa dapat memancarkan cahaya terang pada aneka rona masalah pendidikan dan pengobatan, seperti pengobatan afasia, hambatan ujaran, dan perkembangan kognitif,
(3) bahwa selama telaah pemerolehan bahasa dapat memperkuat atau memperlemah kategori-kategori kesemestaan yang telah dipatokkan oleh teori-teori linguistik dengan suatu dasar mentalis secara eksplisit, maka jelas bahwa fenomemna pemerolehan bahasa itu relevan dengan perkembangan toeri linguistik.
Memang banyak linguis dan nonlinguis yang telah mengadakan telaah mengenai pemerolehan bahasa tanpa membuat suatu upaya nyata untuk membatasi serta menetapkan bagimana hasil-hasil telaah mereka dapat diterapkan, dan tanpa keinginan untuk membuktikan sesuatu mengenai hakikat bahasa. Hasil pendekatan yang agak kausal ini merupakan hasil observasi yang sudah pasti cenderung menjadi bersifat anekdot dan karena itu merupakan sifat yang tidak sistematis. Tambahan lagi, kurangnya teori pemerolehan bahasa yang logis yang berarti bahwa mata rantai antara data dengan apa kita sebut sebagai “fakta-fakta” pemerolehan bahasa itu sungguh-sungguh sangat lemah dan kurang mempersatukan. Misalnya adalah: sukar melukiskan -- apalagi menjelaskan faktafakta perkembangan ujaran yang lamban – dengan tepat apa yang wajar.
Sayangnya , kita sulit sekali mengetahui hal-hal yang membangun serta menunjang perkembangan ujaran yang normal. Hal ini sebagian ada sangkut-pautnya dengan kesukaran-kesukaran praktis yang banyak sekali terlibat dalam penelaahan ujaran kanak-kanak, tetapi juga ada kaitannya dengan kenyataan bahwa belum ada teori linguistic yang tersedia yang menyajikan peralatan-peralatan yang cukup terperinci untuk memudahkan atau memungkinkan kita melukiskan fakta-fakta atau mendaftarkannya secara luas mencakup banyak hal.
Walaupun di atas telah dikemukakan pentingnya penelitian terhadap pemerolehan bahasa anak, namun kita tidak dapat menutup mata akan adanya kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi dalam penelitian tersebut. Berikut ini dikemukakan beberapa indikasi atau petunjuk kesulitan-kesulitan praktis dan teoritis yang terlibat dalam penelitian pemerolehan bahasa. Pertama, sukar
meneliti data input, yaitu jumlah dan hakikat ujaran (data linguistic primer) yang harus diungkap oleh anak-anak selama masa dua atau tiga tahun.


Kedua, sulit menelaah data output (ucapan-ucapan yang dihasilkan anak). Biasanya, kita memerlukan sejumlah informasi yang situasional untuk menentukan makna ucapan seorang anak. Misalnya saja, ucpan seorang anak “Ibu air” yang mungkin berarti ‘ibu mengambil air’ atau ‘ibu minum air’, dan sebagainya. Haruskah kita hanya dengan mengatakan bahwa ucapan itu terdiri atas nomina + nomina saja?
Ketiga, sulit menelaah hubungan input – output. Hal ini teutama disebabkan oleh kenyataan bahwa mungkin ada kesenjangan waktu antara apa yang didengar oleh anak-anak dengan apa yang diucapkannya.
Keempat, sungguh sulit menguji kompetensi anak-anak serta memisahkan variabel-variabel performansinya. Bagaimana kita mengetahui bahwa anak-anak sudah membuat suatu kesalahan dari kompetensi yang seharusnya ? Anak-anak merupakan komponen yang sangat sulit diuji.
Pada bagian terdahulu sudah disinggung mengenai model pemerolehan atau acquisition model. Sekarang, kita menelaah apa sajakah yang terlibat dalam konstruksi atau penyusunan model pemerolehan bahasa. Seorang anak yang mampu belajar bahasa haruslah memiliki:
(1) teknik untuk menggambarkan tanda-tanda inpu,
(2) cara menggambarkan informasi structural mengenai tanda-tanda ini,
(3) metode untuk menentukan apa yang dinyatakan secara tidak langsung atau
diimplikasikan oleh setiap hipotesis serupa itu menghenai setiap kalimat,
(4) metode untuk memilih salah satu dari hipotesis-hipotesis yang sesuai dengan data linguistic utama tertentu (Tarigan, 1985: 243-247).
2.3 Teori Pemerolehan Bahasa Anak
Teori pemerolehan bahasa pada anak meliputi teori behaviorisme, nativisme, kognitivisme, dan interaksionisme.
2.3.1 Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dalam hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi (R) yang tepat terhadap rangsangan/stimulus (S). Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika mendapat penguatan (reinforcement). Pada saat ini, anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah
pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila suatu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak akan mendapatkan kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama pada anak.
Berikut ini adalah beberapa prinsip behaviorisme:
(1) Teori belajar behaviorisme ini bersifat empiris, didasarkan pada data yang dapat diamati.
(2) Kaum behavioaris menganggap bahwa (a) proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang, (b) manusia tidak mempunyai potensi bawaan untuk belajar bahasa, (c) pikiran anak merupakan tabula rasa yang akan diisi dengan asosiasi S-R, (d) semua prilaku
merupakan respon terhadap stimulus dan perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.
(3) Belajar bagi kaum behavioris adalah pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respon yang berulang-ulang sehingga terbentuk kebiasaan. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengondisian.
(4) Pengondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S-R.
(5) Bahasa adalah perilaku manusia yang kompleks di antara perilaku-perilaku lain.
(6) Anak menguasai bahasa melalui peniruan.
(7) Perkembangan bahasa seseorang ditentukan oleh frekuensi dan intensitas latihan yang disodorkan.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement (penguatan) yang cocok,
perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Banyak kritikan diarahkan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan setiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-respons. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku merupakan respons dari satu stimulus. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa sejumlah orang yang mendapatkan stimulus yang sama tidak serta merta melahirkan respons yang sama. Terdapat variabel-variabel lain yang memengaruhi reaksi atau respons seseorang terhadap satu stimulus.
2.3.2 Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, Binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik). Setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal) dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak
dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui peniruan. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Melayu, sudah dapat dipastikan bahwa bahasa Melayu akan menjadi
bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya (Baradja, 1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan
bunyi bahasa.
2.3.3 Teori Kognitivisme
Aliran kognitivisme berawal dari pernyataan Jean Piaget (1926) yang berbunyi “Logical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic developments.” (Pikiran logis membawahi perkembangan linguistik dan nonlinguistik). Pernyataan ini memancing para ahli psikologi kognitif menerangkan pertumbuhan kemampuan berbahasa. Mereka menilai penjelasan Chomsky tentang hal itu belum memuaskan.
Teori Kognitivisme menjelaskan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223).Hal ini tentu saja berbeda dengan
pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai usia anak 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
2.3.4 Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan interaksi antara masukan (input) dengan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.
Dalam pemerolehan bahasa pertama, anak sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan, seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-
3). Akan tetapi, yang tidak boleh dilupakan adalah lingkungan yang juga merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.
2.4 Jenis-jenis Pemerolehan Bahasa
Darjowidjojo (2003: 244) membagi jenis-jenis pemerolehan bahasa dalam empat tataran, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Di samping itu, ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik, yakni bagaimana anak memeroleh kelayakan dalam berujar. Berikut ini penjelasan tentang berbagai jenis pemerolehan bahasa di atas.
2.4.1 Pemerolehan Fonologi
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20 % dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan inilah, maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi-bunyi ini belum dapat
dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi ‘dekutan’ (Dardjowidjojo 2012:244). Anak mendekutkan bermacammacam bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vocal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi ‘celotehan’. Celotehan dimulai dengan konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan demikian strukturnya adalah KV.
2.4.2 Pemerolehan Morfologi
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah maknanya karena proses afiksasi (prefiks, sufiks, simulfiks). Misalnya, kata satu dapat berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesatuan, kebersatuan, mempersatukan, dan seterusnya. Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan.
Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya, anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
2.4.3 Pemerolehan Semantik
Menurut beberapa ahli psikologi perkembangan, kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc.Neil, 1970, Clark, 1997). Clark secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap. Pertama, tahap penyempitan makna kata. Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1,0 – 1,6). Pada tahap ini, kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang disebut ‘gukguk’ hanyalah anjing yang dipelihara di rumah saja, tidak termasuk yang berada di luar rumah. Kedua, tahap generalisasi berlebihan. Tahap ini berlangsung antara usia satu setengah tahun hingga dua tahun setengah (1,6 – 2,6). Pada tahap ini, anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau ‘gukguk’ adalah semua binatang berkaki empat. Ketiga, tahap medan semantik. Tahap ini berlangsung antara usia dua setengah tahun sampai usia lima tahun (2,6 – 5,0). Pada tahap ini,
kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya, proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit -- setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak.
Umpamanya, kalau pada utamanya, kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau maka kata anjing berlaku untuk anjing saja. Kelima, tahap generalisasi. Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini, kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna ketika usia kanak-kanak itu semakin bertambah. Jadi, ketika berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun, misalnya, mereka telah mengenal apa yang dimaksud dengan hewan.
2.4.4 Pemerolehan Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata atau bagian kata. Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang menjadi pertanyaan adalah: kata mana yang dipilih? Seandainya anak itu bernama Fajri dan yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan, apakah dia akan memilih kata jri (untuk Fajri), mau (untuk mau), ataukah kan (untuk makan)? Dari tiga kata pada kalimat Fajri mau makan, yang baru adalah kan. Karena itulah anak
memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan ujaran satu kata atau USK (one word utterance), anak tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang memberikan informasi baru.
Dari segi sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Di samping ciri ini, USK juga mempunyai ciri-ciri yang lain. Pada awalnya, USK hanya terdiri dari KV saja. Bila kata itu KVK, maka K yang kedua dilesapkan. Kata mobil, misalnya, akan disingkat menjadi /bi/. Pada perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2,0 tahun, misalnya, Echa menamakan ikan sebagai /tan/, persis sama dengan kata bukan.
Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan. Semua gugus yang ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. Kata putri (untuk Eyang putri) diucapkan oleh Echa mula-mula sebagai Eyang /ti/. Ciri lain dari USK adalah bahwa kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words), umumnya nomina, verba, adjektiva, dan mungkin juga adverbia. Tidak ada kata fungsi, seperti dari, atau ke. Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan
masa depan. Anak pun juga dapat menyatakan negasi nggak, pengulangan lagi,dan habisnya sesuatu.
Sekitar umur 2,0 tahun, anak mulai mengeluarkan ujaran dua kata atau UDK (Two Word Utterance). Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya telah menyala. Echa misalnya, bukan mengatakan /lampunala/ “lampu nyala” tapi /lampu // nala/. Jadi, berbeda dengan USK, UDK, secara sintaksis, lebih kompleks tetapi semantiknya makin lebih jelas (Dardjowidjojo, 2003: 265)
2.4.5 Pemerolehan Pragmatik
Jakobson menyatakan bahwa pemerolehan pragmatik anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa, melainkan juga memperoleh tindak berbahasa. Dardjowidjojo (2003: 266) membagi pemerolehan pragmatik dalam dua teori, masing-masing (1) Pemerolehan niat komunikatif dan (2) Pemerolehan kemampuan percakapan. Pada minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat komunikatifnya dengan tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain.
Pemerolehan kemampuan percakapan di tandai dengan struktur percakapan yang terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Bila orang tua menyapanya, atau anak-anak yang menyapa terlebih dahulu, itulah tanda bahwa percakapan akan dimulai. Pada tahap giliran, akan terjadi pemberian respons, dan pada bagian penutup, tidak mustahil pula bahwa pertanyaan tadi tidak terjawab karena anak lalu pergi saja meninggalkan orang tuanya atau beralih ke kegiatan lain.
POSTINGAN TERKAIT
TIPS SUKSES DI PRAKONDISI PLPG 2017 BACA DI SINI
MODUL PEDAGOGIK PERSIAPAN  PRAKONDISI PLPG 2017 UNDUH DI SINI
MODUL LENGKAP PERSIAPAN PRAKONDISI BAHASA INDONESIA UNDUH DI SINI

0 komentar:

Post a Comment